Blog Archive
My Facebook
Monday, January 17, 2011
Calon Pasangan ke Eksploitasi Seks
Calon Pasangan ke Eksploitasi Seks
Orientasi berpacaran kaum remaja telah berubah. Dulu pacaran untuk mencari calon pasangan suami-istri. Lalu
kini? Untuk gengsi, fantasi, bahkan eksploitasi seks. Berikut temuan riset Yuni Astuti.
Pacaran adalah bagian terpenting dalam perjalanan remaja untuk menemukan calon pasangan hidupnya kelak -
menjadi suami-istri. Pacaran sebagai sarana mengenal pribadi individu lawa jenis seks atau untuk
mengekspresikan rasa sayang terhadap seseorang yang spesial.
Namun, banyak kalangan yang menilai, aktivitas bercinta gaya anak muda akhir-akhir ini banyak mengalami
perubahan orientasi. Pacaran yang dulu merupakan ajang untuk penjajakan ke jenjang pernikahan, saat ini
berubah menjadi ajang fantasi seksualitas. Benarkah demikian?
Siapa pun mengalami masa remaja. Sebagai masa yang dinilai paling indah dalam kehidupan, ada perubahan
yang cukup mencolok terlihat pada perubahan pubertal, yang membawa pengaruh pada munculnya dorongan
seksual dan perasaan tertarik kepada lawan jenis.
Pada fase inilah, umumnya remaja akan mengalami ketertarikan kepada lawan jenis. Biasanya hal ini akan
menimbulkan perasaan bersemangat, berbunga-bunga, dan bahagia. Hasrat yang menggebu ini pun disikapi
dengan bermacam cara.
Dan, yang umum terjadi, melalui jalinan hubungan asmara atau pacaran. Karena pacaran merupakan sesuatu
yang sangat diharapkan, maka ada anggapan bahwa pacaran itu harus dan sangat penting. Mereka yang tak
punya pacar bisa jadi merasa tak normal.
Proses pacaran dianggap sebagian remaja sebagai bagian dari proses untuk mengenal lebih jauh tentang
karakter dan kepribadian pasangannya. Lebih jauh lagi, proses pacaran itu dapat mengantar mereka menuju
jenjang pernikahan. Dengan pacaran, diharapkan tidak akan timbul kekecewaan ketika sudah mengarungi
bahtera rumah tangga nantinya.
Namun, tak jarang proses penjajakan cinta itu berhenti pada satu orang saja. Artinya, ketika tidak ada lagi
kecocokan di antara mereka, perpisahan dengan mudah terjadi. Atau, mereka menjajaki cinta tak hanya pada
satu pasangan saja demi mencari seseorang yang dinilai paling pas dan tepat untuk dijadikan pasangan.
Fenomena yang kini marak ialah proses pacaran tidak lagi menjadi orientasi utama seseorang untuk mencari
pendamping hidup yang tepat, untuk kemudian menuju jenjang pernikahan.
Ada tujuan lain remaja berpacaran. Having fun, agar tidak ketinggalan zaman, bahkan eksploitasi seksual
merupakan sebagian tujuan mereka. Bagi sebagian remaja, pacaran bahkan dimaknai sebagai ajang adu gengsi
semata, demi menjauhkan diri dari status jomblo, yang berarti negatif di kalangan remaja (tak laku). Hal ini, tak
ayal lagi, mempengaruhi perilaku dalam berpacaran.
Fenomena itu menarik perhatian Yuni Astuti. Dia mengadakan riset tentang perilaku pacaran pada remaja.
Alumnus Fisipol UGM tersebut mengurai kebiasaan pacaran remaja. Dari membangun komitmen bersama
sampai pada aktivitas pacaran mereka. Riset kualitatif dengan informan 11 orang ini dilakukan medio
pertengahan 2005.
Peneliti riset ini mengintip gaya remaja dalam berpacaran. Beberapa informan, meski pada awalnya agak sulit
terbuka, pada akhirnya mau bercerita tentang gaya pacarannya. Lalu, apa saja yang mereka lakukan ketika
berdua dengan pasangannya?
Ngobrol adalah hal yang biasa mereka lakukan. Selain itu, mereka mengaku untuk menjaga gengsi di mata
teman, aktivitas keseharian mereka pun sebisa mungkin melibatkan sang pacar di dalamnya.
Dari meminta pacar menjemput ketika pulang sekolah atau kuliah sampai dengan mengantar lagi ketika ada kegiatan di sekolah. Ibaratnya, pacar harus selalu tahu ke mana dan apa saja kegiatan pasangannya hari ini. Ada
kebanggaan bila mereka bisa selalu berdua, atau paling tidak, tahu pasti apa dan di mana posisi pasangannya
berada.
Untuk menjaga gengsi lagi, malam Minggu menjadi ajang yang tidak pernah mereka lewatkan bersama
pasangannya. Dari sekadar makan malam sampai dengan nongkrong ke mal atau kafe.
Ciuman, Gengsi, dan Kebanggaan
Remaja yang berpacaran mengharapkan bisa selalu bersama dalam segala waktu dan aktivitas. Kecenderungan
selalu dekat dengan pasangannya, pada akhirnya membuat mereka makin dekat. Kedekatan itu pun disikapi
remaja dengan hal-hal yang seharusnya belum boleh mereka lakukan.
Dalam riset ini ditemukan, sebagian besar proses pacaran pada remaja mengarah pada perilaku seksual. Dari
sekadar berpegangan tangan, di awal proses pacaran, selanjutnya lebih daripada itu. Dan ciuman menjadi hal
biasa untuk menunjukkan rasa sayang kepada pasangannya.
Rupanya, gaya pacaran remaja usia belasan tahun sekarang ini sudah berubah. Sekadar berpegangan tangan,
menurut mereka, bukan hubungan pacaran, tapi teman.
Mau tak mau, aktivitas pacaran yang disebut sebagai proses pengenalan diri dan penjajakan kepada pasangan
mereka itu lambat laun menjadi ekspresi eksploitasi seksual mereka.
Bagaimana tidak, dari riset ini ditemukan bahwa ciuman adalah hal lumrah untuk menyatakan rasa cinta kepada
pasangannya. Mereka mengatakan bahwa ciuman dalam masa pacaran sah-sah saja dilakukan sebagai tanda
sayang.
Meski pada awalnya hanya pegang tangan pasangannya mereka merasa malu, namun dengan seringnya
frekuensi mereka bertemu, lambat laun hilanglah jarak di antara mereka dan pasangannya.
Mereka melakukan hal-hal yang lebih jauh lagi. Bahkan, tersirat ada kebanggaan dalam diri remaja bila bisa
melakukan sesuatu yang tidak umum dilakukan oleh teman-teman sebayanya.
"Ciuman pertama pacar di keningku, tapi itu nggak lama kok. Sebulan kemudian, bibir ini sudah merasakan
ciumannya," ucap seorang informan.
Pernyataan informan remaja tersebut membuktikan bahwa remaja cenderung melakukan sesuatu untuk
kebanggaan tanpa tahu akan akibat yang dilakukannya.
Mencium dan merasakan ciuman, bukan ciuman di tangan, di pipi, atau di kening, dari pacarnya. Semua
informan riset ini mengaku pernah merasakannya. Hal itu dianggap wajar dan harus ada dalam hubungan
pacaran. Dan itu memang hal yang sudah seharusnya dilakukan. Tak ada yang spesial. Malah mereka
melanjutkan, hal itu hanya hal biasa yang tak bisa dibanggakan.
Mereka tak menampik jika ada gengsi, prestise, serta kebanggaan tersendiri bila bisa melakukan lebih daripada
itu.
Selanjutnya, enam informan menyatakan mencium di leher dan ciuman di bibir pasangan adalah hal yang harus
ada pada pasangan yang terikat dalam hubungan pacaran. Bukan pacaran namanya bila hanya berciuman di pipi
atau kening.
Ciuman pada awalnya adalah untuk menunjukkan rasa hormat mereka kepada pasangannya. Seperti, mencium
tangan pasangannya ketika akan berpisah pulang. Ciuman seperti ini biasa dilakukan setiap hari.
Namun ketika hubungan di antara mereka bertambah dekat, pasangan menambah ciuman di bagian dahi dan
pipi sebagai pelepas kangen. Ketika cinta dan komitmen mereka bertambah, tak ayal lagi ciuman di leher dan bibir menjadi alasan pengikat cinta mereka. Dan itu harus ada. Ciuman yang dulu dianggap tabu, sekarang
menjadi madu.
"Rangsangan seksual akibat seringnya mereka melakukan kontak fisik menjadi pemicu ciuman pada daerah-
daerah erotis itu," jelas Yuni Astuti.
Selain itu, ada beberapa perilaku seksual lain yang mulai banyak dilakukan remaja. Seperti meraba tubuh
pasangan di luar pakaian, meraba tubuh pasangan di dalam pakaian, hingga petting dengan memakai pakaian.
Bahkan, fenomena yang marak akhir-akhir ini banyak remaja dengan motif tak jelas berani melakukan
hubungan persebadanan yang direkam melalui kamera canggih sebuah ponsel.
Anggapan wajar untuk aktivitas seksual inilah yang kemudian menambah keberanian mereka. Bahkan
realitanya, di depan teman-temannya, aktivitas seksual itu pun jadilah. Tak ada perasaan malu untuk beradegan
mesra. Itu artinya, budaya permisif sudah merasuk dalam aktivitas pacaran. Dengan fenomena eksploitasi
seksual seperti ini, menjalin hubungan pacaran dinilai lebih mengasyikkan bagi remaja.
Orientasi berpacaran kaum remaja telah berubah. Dulu pacaran untuk mencari calon pasangan suami-istri. Lalu
kini? Untuk gengsi, fantasi, bahkan eksploitasi seks. Berikut temuan riset Yuni Astuti.
Pacaran adalah bagian terpenting dalam perjalanan remaja untuk menemukan calon pasangan hidupnya kelak -
menjadi suami-istri. Pacaran sebagai sarana mengenal pribadi individu lawa jenis seks atau untuk
mengekspresikan rasa sayang terhadap seseorang yang spesial.
Namun, banyak kalangan yang menilai, aktivitas bercinta gaya anak muda akhir-akhir ini banyak mengalami
perubahan orientasi. Pacaran yang dulu merupakan ajang untuk penjajakan ke jenjang pernikahan, saat ini
berubah menjadi ajang fantasi seksualitas. Benarkah demikian?
Siapa pun mengalami masa remaja. Sebagai masa yang dinilai paling indah dalam kehidupan, ada perubahan
yang cukup mencolok terlihat pada perubahan pubertal, yang membawa pengaruh pada munculnya dorongan
seksual dan perasaan tertarik kepada lawan jenis.
Pada fase inilah, umumnya remaja akan mengalami ketertarikan kepada lawan jenis. Biasanya hal ini akan
menimbulkan perasaan bersemangat, berbunga-bunga, dan bahagia. Hasrat yang menggebu ini pun disikapi
dengan bermacam cara.
Dan, yang umum terjadi, melalui jalinan hubungan asmara atau pacaran. Karena pacaran merupakan sesuatu
yang sangat diharapkan, maka ada anggapan bahwa pacaran itu harus dan sangat penting. Mereka yang tak
punya pacar bisa jadi merasa tak normal.
Proses pacaran dianggap sebagian remaja sebagai bagian dari proses untuk mengenal lebih jauh tentang
karakter dan kepribadian pasangannya. Lebih jauh lagi, proses pacaran itu dapat mengantar mereka menuju
jenjang pernikahan. Dengan pacaran, diharapkan tidak akan timbul kekecewaan ketika sudah mengarungi
bahtera rumah tangga nantinya.
Namun, tak jarang proses penjajakan cinta itu berhenti pada satu orang saja. Artinya, ketika tidak ada lagi
kecocokan di antara mereka, perpisahan dengan mudah terjadi. Atau, mereka menjajaki cinta tak hanya pada
satu pasangan saja demi mencari seseorang yang dinilai paling pas dan tepat untuk dijadikan pasangan.
Fenomena yang kini marak ialah proses pacaran tidak lagi menjadi orientasi utama seseorang untuk mencari
pendamping hidup yang tepat, untuk kemudian menuju jenjang pernikahan.
Ada tujuan lain remaja berpacaran. Having fun, agar tidak ketinggalan zaman, bahkan eksploitasi seksual
merupakan sebagian tujuan mereka. Bagi sebagian remaja, pacaran bahkan dimaknai sebagai ajang adu gengsi
semata, demi menjauhkan diri dari status jomblo, yang berarti negatif di kalangan remaja (tak laku). Hal ini, tak
ayal lagi, mempengaruhi perilaku dalam berpacaran.
Fenomena itu menarik perhatian Yuni Astuti. Dia mengadakan riset tentang perilaku pacaran pada remaja.
Alumnus Fisipol UGM tersebut mengurai kebiasaan pacaran remaja. Dari membangun komitmen bersama
sampai pada aktivitas pacaran mereka. Riset kualitatif dengan informan 11 orang ini dilakukan medio
pertengahan 2005.
Peneliti riset ini mengintip gaya remaja dalam berpacaran. Beberapa informan, meski pada awalnya agak sulit
terbuka, pada akhirnya mau bercerita tentang gaya pacarannya. Lalu, apa saja yang mereka lakukan ketika
berdua dengan pasangannya?
Ngobrol adalah hal yang biasa mereka lakukan. Selain itu, mereka mengaku untuk menjaga gengsi di mata
teman, aktivitas keseharian mereka pun sebisa mungkin melibatkan sang pacar di dalamnya.
Dari meminta pacar menjemput ketika pulang sekolah atau kuliah sampai dengan mengantar lagi ketika ada kegiatan di sekolah. Ibaratnya, pacar harus selalu tahu ke mana dan apa saja kegiatan pasangannya hari ini. Ada
kebanggaan bila mereka bisa selalu berdua, atau paling tidak, tahu pasti apa dan di mana posisi pasangannya
berada.
Untuk menjaga gengsi lagi, malam Minggu menjadi ajang yang tidak pernah mereka lewatkan bersama
pasangannya. Dari sekadar makan malam sampai dengan nongkrong ke mal atau kafe.
Ciuman, Gengsi, dan Kebanggaan
Remaja yang berpacaran mengharapkan bisa selalu bersama dalam segala waktu dan aktivitas. Kecenderungan
selalu dekat dengan pasangannya, pada akhirnya membuat mereka makin dekat. Kedekatan itu pun disikapi
remaja dengan hal-hal yang seharusnya belum boleh mereka lakukan.
Dalam riset ini ditemukan, sebagian besar proses pacaran pada remaja mengarah pada perilaku seksual. Dari
sekadar berpegangan tangan, di awal proses pacaran, selanjutnya lebih daripada itu. Dan ciuman menjadi hal
biasa untuk menunjukkan rasa sayang kepada pasangannya.
Rupanya, gaya pacaran remaja usia belasan tahun sekarang ini sudah berubah. Sekadar berpegangan tangan,
menurut mereka, bukan hubungan pacaran, tapi teman.
Mau tak mau, aktivitas pacaran yang disebut sebagai proses pengenalan diri dan penjajakan kepada pasangan
mereka itu lambat laun menjadi ekspresi eksploitasi seksual mereka.
Bagaimana tidak, dari riset ini ditemukan bahwa ciuman adalah hal lumrah untuk menyatakan rasa cinta kepada
pasangannya. Mereka mengatakan bahwa ciuman dalam masa pacaran sah-sah saja dilakukan sebagai tanda
sayang.
Meski pada awalnya hanya pegang tangan pasangannya mereka merasa malu, namun dengan seringnya
frekuensi mereka bertemu, lambat laun hilanglah jarak di antara mereka dan pasangannya.
Mereka melakukan hal-hal yang lebih jauh lagi. Bahkan, tersirat ada kebanggaan dalam diri remaja bila bisa
melakukan sesuatu yang tidak umum dilakukan oleh teman-teman sebayanya.
"Ciuman pertama pacar di keningku, tapi itu nggak lama kok. Sebulan kemudian, bibir ini sudah merasakan
ciumannya," ucap seorang informan.
Pernyataan informan remaja tersebut membuktikan bahwa remaja cenderung melakukan sesuatu untuk
kebanggaan tanpa tahu akan akibat yang dilakukannya.
Mencium dan merasakan ciuman, bukan ciuman di tangan, di pipi, atau di kening, dari pacarnya. Semua
informan riset ini mengaku pernah merasakannya. Hal itu dianggap wajar dan harus ada dalam hubungan
pacaran. Dan itu memang hal yang sudah seharusnya dilakukan. Tak ada yang spesial. Malah mereka
melanjutkan, hal itu hanya hal biasa yang tak bisa dibanggakan.
Mereka tak menampik jika ada gengsi, prestise, serta kebanggaan tersendiri bila bisa melakukan lebih daripada
itu.
Selanjutnya, enam informan menyatakan mencium di leher dan ciuman di bibir pasangan adalah hal yang harus
ada pada pasangan yang terikat dalam hubungan pacaran. Bukan pacaran namanya bila hanya berciuman di pipi
atau kening.
Ciuman pada awalnya adalah untuk menunjukkan rasa hormat mereka kepada pasangannya. Seperti, mencium
tangan pasangannya ketika akan berpisah pulang. Ciuman seperti ini biasa dilakukan setiap hari.
Namun ketika hubungan di antara mereka bertambah dekat, pasangan menambah ciuman di bagian dahi dan
pipi sebagai pelepas kangen. Ketika cinta dan komitmen mereka bertambah, tak ayal lagi ciuman di leher dan bibir menjadi alasan pengikat cinta mereka. Dan itu harus ada. Ciuman yang dulu dianggap tabu, sekarang
menjadi madu.
"Rangsangan seksual akibat seringnya mereka melakukan kontak fisik menjadi pemicu ciuman pada daerah-
daerah erotis itu," jelas Yuni Astuti.
Selain itu, ada beberapa perilaku seksual lain yang mulai banyak dilakukan remaja. Seperti meraba tubuh
pasangan di luar pakaian, meraba tubuh pasangan di dalam pakaian, hingga petting dengan memakai pakaian.
Bahkan, fenomena yang marak akhir-akhir ini banyak remaja dengan motif tak jelas berani melakukan
hubungan persebadanan yang direkam melalui kamera canggih sebuah ponsel.
Anggapan wajar untuk aktivitas seksual inilah yang kemudian menambah keberanian mereka. Bahkan
realitanya, di depan teman-temannya, aktivitas seksual itu pun jadilah. Tak ada perasaan malu untuk beradegan
mesra. Itu artinya, budaya permisif sudah merasuk dalam aktivitas pacaran. Dengan fenomena eksploitasi
seksual seperti ini, menjalin hubungan pacaran dinilai lebih mengasyikkan bagi remaja.
Label:
wacana
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Mohon jangan meninggalkan SPAM dan link-link yang negatif!!
Untuk Artikel yang berumur lebih dari 20 hari akan dimoderasi oleh Admin.