Blog Archive
My Facebook
Sunday, May 15, 2011
Pentingkah kita bekerja???
Beberapa teman mengeluh mengenai jam kerja yang semakin panjang. Bukan sekadar pulang malam, tetapi juga hampir tidak pernah menikmati akhir minggu di rumah. Alasan kompetisi yang sudah semakin menjerat dan keharusan untuk berkembang, membuat prinsip kerja 24/7 bisa diterima secara rasional, tetapi kenyataannya tetap tidak melegakan. Adanya telepon genggam, BlackBerry, komputer tablet, dan laptop super enteng, memang seakan mempermudah hidup kita, namun sekaligus membuat pekerjaan seolah "lengket" dengan diri kita, ikut dengan kita kemana kita pergi. Ada kecenderungan baru yang dialami banyak orang, di mana individu seolah-olah kecanduan e-mail, mengecek pesan masuk setiap saat, dan bahkan sudah dikejar pekerjaan sejak makan pagi.
“The Long Hours Culture” di banyak perusahaan sukses sudah menjadi tren. Bahkan hal ini dijadikan ukuran berkinerja tidaknya seorang individu. Seorang teman mengatakan mengatakan dengan bangga: ”Kita harus siap dipanggil kembali ke kantor walaupun sudah di rumah." Banyak alasan yang melatarbelakangi kehidupan yang hectic ini, misalnya saja atasan yang tidak memperhatikan, tuntutan pekerjaan terlalu banyak, ataupun kesempatan yang sayang untuk dilewatkan. Apapun alasannya, ritual semacam ini telah membuat relaksasi tidak sempurna. Ketika kesempatannya ada, bisa-bisa individu lebih banyak ditemani oleh rasa bersalah dan stres. Rasa bersalah karena pekerjaan menumpuk dan tidak selesai, dicampur dengan rasa bersalah karena merasa tidak mampu mengelola kehidupan pribadi.
Kita tentu bertanya-tanya, apakah memang efektif dan produktifkah bekerja penuh 12 jam sehari atau bahkan lebih? Kita tahu bahwa keuntungan bekerja fleksibel dengan segala macam dukungan teknologi adalah meningkatnya produktivitas. Namun, bukankah kebahagiaan karena bisa dengan efektif mengelola tanggung jawab kerja dan kehidupan pribadi juga menentukan produktivitas diri kita?
Pertanyaannya: bagaimana kita berstrategi dan menjaga diri kita agar bisa membagi timing di mana kita perlu hadir secara fisik atau tidak? Kita juga perlu memasukkan agenda kehidupan pribadi di sela-sela agenda pekerjaan yang memang sudah membuntuti kita secara fisik maupun psikologis. Ini memang tantangan baru dunia kerja masa kini yang tidak dihadapi 10 tahun lalu. Pandangan mengenai kerja keras rasanya perlu ditinjau kembali, baik oleh perusahaan maupun individunya sendiri.
Manusia bukan mesin
Kita yang “knowledge worker” ini terkadang lupa dan menyamakan diri kita dengan komputer. Bukankah kita kerap merasa semakin high speed, semakin panjang jam kerja dan kemampuan mengerjakan beberapa tugas sekaligus membuat kita merasa semakin baik. Hal yang perlu kita ingat adalah manusia hidup menurut ritme tertentu. Jantung berdegup, otot berkontraksi dan berelaksasi. Tentunya kita bisa berfungsi optimal bila kita memanfaatkan enerji dengan optimal dan sempat menyegarkannya. Itulah sebabnya kebanyakan individu berpikiran terang pada pagi hari, atau setelah sempat tidur sejenak. Bayangkan apa yang terjadi bila seorang atlet melakukan sprint terus-menerus tanpa restorasi enerji. Otak manusia pun mempunyai persamaan dengan kinerja tubuh si atlet itu. Artinya, bila si individu tidak mengatur enerjinya, bekerja terus tanpa henti sepanjang hari, ia pasti akan berproduksi lebih sedikit daripada orang dengan talenta yang sama yang mampu mengatur enerjinya.
Untuk berkinerja optimal kita tidak boleh mengabaikan bahwa kita perlu mengatur ritual kehidupan kita agar di sela-sela kehidupan sehari-hari, kita bisa menyegarkan sumber energi kita. Secara fisik kita perlu kebugaran, tidur cukup, gizi, dan waktu istirahat. Secara emosional kita pun perlu menghidupkan emosi positif dengan cara berkomunikasi positif dengan orang di sekitar kita. Secara mental kita perlu memperhatikan kekuatan fokus dan menyeimbangkan kerja otak hemisphere kiri dan kanan, sehingga kreativitas terjaga. Sementara secara spiritual kita tetap perlu menjaga pemahaman makna, sasaran, dan tujuan pekerjaan kita.
Tantangannya adalah banyak individu yang berpendapat bahwa pengaturan tugas bukan ditentukan oleh individu sendiri tetapi oleh atasan. Kita rasanya perlu berpikir ulang, benarkah bahwa sebagai bawahan kita tidak bisa menentukan deadline dan ritme kerja kita? Apakah sepenuhnya enerji dan pembagian tugas betul-betul diatur oleh pihak luar dan tidak bisa dilakukan secara mandiri? Perasaan tidak memiliki kontrol atas diri dan waktu kitalah sebetulnya yang kerap menjadi sumber stres dan rasa bersalah. Dalam kehidupan yang kompetitif dan menantang ini, individu juga perlu berkeyakinan bahwa ia adalah pengelola enerji dirinya sendiri. Mindset yang tepat akan memberi enerji bagi kita untuk menyusun prioritas, mengelola mesin pribadi, dan mengambil tanggung jawab penuh atas produktivitas diri kita.
Kenali diri, kelola situasi kerja
Ahli manajemen kawakan Peter Drucker mengatakan: “The toughest job for knowledge workers is defining the work.” Seabad yang lalu, orang belum mengenal bisnis jasa. Pada waktu itu, bekerja berarti "membuat, memindahkan, dan merakit barang. Lebih lama Anda bekerja, lebih banyak barang yang diproduksi. Saat itu seorang pekerja tidak membutuhkan analisa, kreativitas, dan pengambilan keputusan. Sungguh sangat berbeda dengan kondisi kerja sekarang, bukan?
Kreativitas yang kita asah terus-menerus bisa membuat kita bekerja dalam waktu yang lebih singkat dengan produktivitas yang lebih tinggi. Bila kita memahami ritme tubuh dan tahu kapan enerji kita di posisi puncak, mesin tubuh kita lebih bisa berdaya guna optimal. Dengan menuliskan semua komitmen, tugas dan sasaran sambil menyesuaikan dengan kekuatan enerji kita, mestinya kita bisa menyikapi tugas yang banyak tanpa perlu merasa tersiksa dan terbebani pekerjaan. Justru pekerjaan bisa dilakukan dengan fun seperti game karena kita tidak bereaksi secara primitif terhadap situasinya.
Riset menunjukkan, banyak orang memiliki gadget canggih namun sebetulnya hanya sedikit sekali kecanggihannya dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan. Pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu kerja, misalnya mencatat agenda, menentukan prioritas, menggunakan reminder otomatis, membuat rumus-rumus dan template standar bukan hanya bisa memangkas waktu kerja menjadi separuhnya, namun juga sekaligus bisa melipatgandakan kualitas dan kuantitas hasil kerja kita. Kerja 24/7 mungkin tidak bisa kita hindari, namun tetap saja manusianya lah yang menjadi sutradara, dan bukan korban dari teknologi. Kitalah yang perlu mengelola “the strategic value of clear space” di dalam otak dan diri kita.
“The Long Hours Culture” di banyak perusahaan sukses sudah menjadi tren. Bahkan hal ini dijadikan ukuran berkinerja tidaknya seorang individu. Seorang teman mengatakan mengatakan dengan bangga: ”Kita harus siap dipanggil kembali ke kantor walaupun sudah di rumah." Banyak alasan yang melatarbelakangi kehidupan yang hectic ini, misalnya saja atasan yang tidak memperhatikan, tuntutan pekerjaan terlalu banyak, ataupun kesempatan yang sayang untuk dilewatkan. Apapun alasannya, ritual semacam ini telah membuat relaksasi tidak sempurna. Ketika kesempatannya ada, bisa-bisa individu lebih banyak ditemani oleh rasa bersalah dan stres. Rasa bersalah karena pekerjaan menumpuk dan tidak selesai, dicampur dengan rasa bersalah karena merasa tidak mampu mengelola kehidupan pribadi.
Kita tentu bertanya-tanya, apakah memang efektif dan produktifkah bekerja penuh 12 jam sehari atau bahkan lebih? Kita tahu bahwa keuntungan bekerja fleksibel dengan segala macam dukungan teknologi adalah meningkatnya produktivitas. Namun, bukankah kebahagiaan karena bisa dengan efektif mengelola tanggung jawab kerja dan kehidupan pribadi juga menentukan produktivitas diri kita?
Pertanyaannya: bagaimana kita berstrategi dan menjaga diri kita agar bisa membagi timing di mana kita perlu hadir secara fisik atau tidak? Kita juga perlu memasukkan agenda kehidupan pribadi di sela-sela agenda pekerjaan yang memang sudah membuntuti kita secara fisik maupun psikologis. Ini memang tantangan baru dunia kerja masa kini yang tidak dihadapi 10 tahun lalu. Pandangan mengenai kerja keras rasanya perlu ditinjau kembali, baik oleh perusahaan maupun individunya sendiri.
Manusia bukan mesin
Kita yang “knowledge worker” ini terkadang lupa dan menyamakan diri kita dengan komputer. Bukankah kita kerap merasa semakin high speed, semakin panjang jam kerja dan kemampuan mengerjakan beberapa tugas sekaligus membuat kita merasa semakin baik. Hal yang perlu kita ingat adalah manusia hidup menurut ritme tertentu. Jantung berdegup, otot berkontraksi dan berelaksasi. Tentunya kita bisa berfungsi optimal bila kita memanfaatkan enerji dengan optimal dan sempat menyegarkannya. Itulah sebabnya kebanyakan individu berpikiran terang pada pagi hari, atau setelah sempat tidur sejenak. Bayangkan apa yang terjadi bila seorang atlet melakukan sprint terus-menerus tanpa restorasi enerji. Otak manusia pun mempunyai persamaan dengan kinerja tubuh si atlet itu. Artinya, bila si individu tidak mengatur enerjinya, bekerja terus tanpa henti sepanjang hari, ia pasti akan berproduksi lebih sedikit daripada orang dengan talenta yang sama yang mampu mengatur enerjinya.
Untuk berkinerja optimal kita tidak boleh mengabaikan bahwa kita perlu mengatur ritual kehidupan kita agar di sela-sela kehidupan sehari-hari, kita bisa menyegarkan sumber energi kita. Secara fisik kita perlu kebugaran, tidur cukup, gizi, dan waktu istirahat. Secara emosional kita pun perlu menghidupkan emosi positif dengan cara berkomunikasi positif dengan orang di sekitar kita. Secara mental kita perlu memperhatikan kekuatan fokus dan menyeimbangkan kerja otak hemisphere kiri dan kanan, sehingga kreativitas terjaga. Sementara secara spiritual kita tetap perlu menjaga pemahaman makna, sasaran, dan tujuan pekerjaan kita.
Tantangannya adalah banyak individu yang berpendapat bahwa pengaturan tugas bukan ditentukan oleh individu sendiri tetapi oleh atasan. Kita rasanya perlu berpikir ulang, benarkah bahwa sebagai bawahan kita tidak bisa menentukan deadline dan ritme kerja kita? Apakah sepenuhnya enerji dan pembagian tugas betul-betul diatur oleh pihak luar dan tidak bisa dilakukan secara mandiri? Perasaan tidak memiliki kontrol atas diri dan waktu kitalah sebetulnya yang kerap menjadi sumber stres dan rasa bersalah. Dalam kehidupan yang kompetitif dan menantang ini, individu juga perlu berkeyakinan bahwa ia adalah pengelola enerji dirinya sendiri. Mindset yang tepat akan memberi enerji bagi kita untuk menyusun prioritas, mengelola mesin pribadi, dan mengambil tanggung jawab penuh atas produktivitas diri kita.
Kenali diri, kelola situasi kerja
Ahli manajemen kawakan Peter Drucker mengatakan: “The toughest job for knowledge workers is defining the work.” Seabad yang lalu, orang belum mengenal bisnis jasa. Pada waktu itu, bekerja berarti "membuat, memindahkan, dan merakit barang. Lebih lama Anda bekerja, lebih banyak barang yang diproduksi. Saat itu seorang pekerja tidak membutuhkan analisa, kreativitas, dan pengambilan keputusan. Sungguh sangat berbeda dengan kondisi kerja sekarang, bukan?
Kreativitas yang kita asah terus-menerus bisa membuat kita bekerja dalam waktu yang lebih singkat dengan produktivitas yang lebih tinggi. Bila kita memahami ritme tubuh dan tahu kapan enerji kita di posisi puncak, mesin tubuh kita lebih bisa berdaya guna optimal. Dengan menuliskan semua komitmen, tugas dan sasaran sambil menyesuaikan dengan kekuatan enerji kita, mestinya kita bisa menyikapi tugas yang banyak tanpa perlu merasa tersiksa dan terbebani pekerjaan. Justru pekerjaan bisa dilakukan dengan fun seperti game karena kita tidak bereaksi secara primitif terhadap situasinya.
Riset menunjukkan, banyak orang memiliki gadget canggih namun sebetulnya hanya sedikit sekali kecanggihannya dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan. Pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu kerja, misalnya mencatat agenda, menentukan prioritas, menggunakan reminder otomatis, membuat rumus-rumus dan template standar bukan hanya bisa memangkas waktu kerja menjadi separuhnya, namun juga sekaligus bisa melipatgandakan kualitas dan kuantitas hasil kerja kita. Kerja 24/7 mungkin tidak bisa kita hindari, namun tetap saja manusianya lah yang menjadi sutradara, dan bukan korban dari teknologi. Kitalah yang perlu mengelola “the strategic value of clear space” di dalam otak dan diri kita.