Blog Archive
My Facebook
Thursday, June 16, 2011
DISMENOREA
I. Pendahuluan
A. Pengertian
Dismenore (nyeri haid) merupakan gejala yang timbul menjelang dan selama mentruasi ditandai dengan gejala kram pada abdomen bagian bawah. (Djuanda, Adhi.dkk, 2008)
Nyeri haid yang merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Istilah dismenorea biasa dipakai untuk nyeri haid yang cukup berat dimana penderita mengobati sendiri dengan analgesik atau sampai memeriksakan diri ke dokter.
B. Etiologi
Secara umum, nyeri haid timbul akibat kontraksi disritmik miometrium yang menampilkan satu gejala atau lebih, mulai dari nyeri yang ringan sampai berat di perut bagian bawah, bokong, dan nyeri spasmodik di sisi medial paha.
Penyebab Dismenorea Primer
1. Faktor endokrin
Rendahnya kadar progesteron pada akhir fase korpus luteum. Menurut Novak dan Reynolds, hormon progesteron menghambat atau mencegah kontraktilitas uterus sedangkan hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus.
2. Kelainan organik
Seperti: retrofleksia uterus, hipoplasia uterus, obstruksi kanalis servikalis, mioma submukosum bertangkai, polip endometrium.
3. Faktor kejiwaan atau gangguan psikis
Seperti: rasa bersalah, ketakutan seksual, takut hamil, hilangnya tempat berteduh, konflik dengan kewanitaannya, dan imaturitas.
4. Faktor konstitusi
seperti: anemia, penyakit menahun, dsb dapat memengaruhi timbulnya dismenorea.
5. Faktor alergi
Menurut Smith, penyebab alergi adalah toksin haid. Menurut riset, ada asosiasi antara dismenorea dengan urtikaria, migren, dan asma bronkiale.
Penyebab Dismenorea Sekunder
1. Intrauterine contraceptive devices
2. Adenomyosis
3. Uterine myoma (fibroid), terutama mioma submukosum
4. Uterine polyps
5. Adhesions (pelekatan)
6. Congenital malformation of the müllerian system
7. Stenosis atau striktur serviks, striktur kanalis servikalis, varikosis pelvik, dan adanya AKDR
8. Kista ovarium (ovarian cysts)
9. Pelvic congestion syndrome
10. Allen-Masters syndrome
11. Mittelschmerz (midcycle ovulation pain atau nyeri saat pertengahan siklus ovulasi)
12. Psychogenic pain (nyeri psikogenik)
13. Endometriosis pelvis
14. Penyakit radang panggul kronis
15. Tumor ovarium, polip endometrium
16. Kelainan letak uterus seperti: retrofleksi, hiperantefleksi, retrofleksi terfiksasi
17. Faktor psikis, seperti: takut tidak punya anak, konflik dengan pasangan, gangguan libido.
Menurut Harlow (1996), juga terdapat faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya dismenorea yang berat (severe episodes of dysmenorrhea) :
1. Menstruasi pertama pada usia amat dini (earlier age at menarche)
2. Periode menstruasi yang lama (long menstrual periods)
3. Aliran menstruasi yang hebat (heavy menstrual flow)
4. Merokok (smoking)
5. Riwayat keluarga yang positif (positive family history)
Laurel D Edmundson (2006) telah mencatat sedikitnya terdapat 15 faktor risiko pada dismenorea primer dan sekunder, dengan rincian sebagai berikut:
1. Faktor Risiko Dismenorea Primer:
a. Usia saat menstruasi pertama <12 tahun
b. Nulliparity (belum pernah melahirkan anak)
c. Haid memanjang (heavy or prolonged menstrual flow)
d. Merokok
e. Riwayat keluarga positif
f. Kegemukan
2. Faktor Risiko Dismenorea Sekunder:
a. Endometriosis
b. Adenomyosis
c. Leiomyomata (fibroid)
d. Intrauterine device (IUD)
e. Pelvic inflammatory disease
f. Kanker endometrium (endometrial carcinoma)
g. Kista ovarium (ovarian cysts)
h. Congenital pelvic malformations
i. Cervical stenosis
C. Klasifikasi
Secara klinis Dismenorea dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam yaitu
1. Dismenorea Primer (esensial, intrinsik, idiopatik)
Dismenorea primer (primary dysmenorrhea) didefinisikan sebagai nyeri haid (menstrual pain) yang tidak berhubungan dengan patologi pelvis makroskopis (yaitu: ketiadaan penyakit pada pelvis). Umumnya terjadi pada tahun-tahun pertama setelah menstruasi pertama atau menarche (Koltz, 1995) dan memengaruhi sampai 50% wanita postpubescent (Dawood, 1988).
2. Dismenorea Sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, acquired)
Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) didefinisikan sebagai nyeri haid sebagai akibat dari anatomi dan atau patologi pelvis makroskopis (Dawood, 1990; Koltz, 1995), seperti yang dialami oleh wanita dengan endometriosis atau radang pelvis kronis (chronic pelvic inflammatory disease). Kondisi ini paling sering dialami oleh wanita berusia 30-45 tahun.
D. Potofisiologi
1. Dismenorea Primer
Dismenorea primer (primary dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah menarche (haid pertama) segera setelah siklus ovulasi teratur (regular ovulatory cycle) ditetapkan/ditentukan. Selama menstruasi, sel-sel endometrium yang terkelupas (sloughing endometrial cells) melepaskan prostaglandin, yang menyebabkan iskemia uterus melalui kontraksi miometrium dan vasokonstriksi. Peningkatan kadar prostaglandin telah terbukti ditemukan pada cairan haid (menstrual fluid) pada wanita dengan dismenorea berat (severe dysmenorrhea). Kadar ini memang meningkat terutama selama dua hari pertama menstruasi. Vasopressin juga memiliki peran yang sama.
Riset terbaru menunjukkan bahwa patogenesis dismenorea primer adalah karena prostaglandin F2alpha (PGF2alpha), suatu stimulan miometrium yang kuat (a potent myometrial stimulant) dan vasoconstrictor, yang ada di endometrium sekretori (Willman, 1976). Respon terhadap inhibitor prostaglandin pada pasien dengan dismenorea mendukung pernyataan bahwa dismenorea diperantarai oleh prostaglandin (prostaglandin mediated). Banyak bukti kuat menghubungkan dismenorea dengan kontraksi uterus yang memanjang (prolonged uterine contractions) dan penurunan aliran darah ke miometrium.
Kadar prostaglandin yang meningkat ditemukan di cairan endometrium (endometrial fluid) wanita dengan dismenorea dan berhubungan baik dengan derajat nyeri (Helsa, 1992; Eden, 1998). Peningkatan endometrial prostaglandin sebanyak 3 kali lipat terjadi dari fase folikuler menuju fase luteal, dengan peningkatan lebih lanjut yang terjadi selama menstruasi (Speroff, 1997; Dambro, 1998). Peningkatan prostaglandin di endometrium yang mengikuti penurunan progesterone pada akhir fase luteal menimbulkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan (Dawood, 1990).
Leukotriene juga telah diterima (postulated) untuk mempertinggi sensitivitas nyeri serabut (pain fibers) di uterus (Helsa, 1992). Jumlah leukotriene yang bermakna (significant) telah dipertunjukkan di endometrium wanita dengan dismenorea primer yang tidak berespon terhadap pengobatan dengan antagonis prostaglandin (Demers, 1984; Rees, 1987; Chegini, 1988; Sundell, 1990; Nigam, 1991).
Hormon pituitari posterior, vasopressin, terlibat pada hipersensitivitas miometrium, mereduksi (mengurangi) aliran darah uterus, dan nyeri (pain) pada penderita dismenorea primer (Akerlund, 1979). Peranan vasopressin di endometrium dapat berhubungan dengan sintesis dan pelepasan prostaglandin.
2. Dismenorea Sekunder
Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) dapat terjadi kapan saja setelah menarche (haid pertama), namun paling sering muncul di usia 20-an atau 30-an, setelah tahun-tahun normal, siklus tanpa nyeri (relatively painless cycles). Peningkatan prostaglandin dapat berperan pada dismenorea sekunder, namun, secara pengertian (by definition), penyakit pelvis yang menyertai (concomitant pelvic pathology) haruslah ada. Penyebab yang umum termasuk: endometriosis, leiomyomata (fibroid), adenomyosis, polip endometrium, chronic pelvic inflammatory disease, dan penggunaan peralatan kontrasepsi atau IUD (intrauterine device).
Karim Anton Calis (2006) mengemukakan sejumlah faktor yang terlibat dalam patogenesis dismenorea sekunder.
Kondisi patologis pelvis berikut ini dapat memicu atau mencetuskan dismenorea sekunder :
a. Endometriosis
b. Pelvic inflammatory disease
c. Tumor dan kista ovarium
d. Oklusi atau stenosis servikal
e. Adenomyosis
f. Fibroids
g. Uterine polyps
h. Intrauterine adhesions
i. Congenital malformations (misalnya: bicornate uterus, subseptate uterus)
j. Intrauterine contraceptive device
k. Transverse vaginal septum
l. Pelvic congestion syndrome
m. Allen-Masters syndrome
E. Komplikasi
1. Jika diagnosis dismenorea sekunder diabaikan atau terlupakan, maka patologi yang mendasari (underlying pathology) dapat memicu kenaikan morbidity (angka kematian), termasuk sterility (kemandulan).
2. Isolasi sosial dan/atau depresi.
F. Mekenisme Klinis
Mekanisme klinis untuk Dismenorea ini dibedakan berdasarkan klasifikasinya, sebagai berikut :
1. Dismenorea Primer
Dismenorea primer hampir selalu terjadi saat siklus ovulasi (ovulatory cycles) dan biasanya muncul dalam setahun setelah menarche (haid pertama). Pada dismenorea primer klasik, nyeri dimulai bersamaan dengan onset haid (atau hanya sesaat sebelum haid) dan bertahan/menetap selama 1-2 hari. Nyeri dideskripsikan sebagai spasmodik dan superimposed over a background of constant lower abdominal pain, yang menyebar ke bagian belakang (punggung) atau anterior dan/atau medial paha.
Berhubungan dengan gejala-gejala umum, seperti:
a. Malaise (rasa tidak enak badan),
b. Fatigue/lelah (85%),
c. Nausea (mual) dan vomiting/muntah (89%),
d. Diare (60%),
e. Nyeri punggung bawah atau lower backache (60%),
f. Sakit kepala atau headache (45%),
g. Terkadang dapat juga disertai vertigo atau sensasi jatuh (dizziness), perasaan
h. Cemas, gelisah (nervousness), dan bahkan collapse (ambruk).
Manifestasi klinis (clinical features) dismenorea primer termasuk:
a. Onset segera setelah menarche (haid pertama).
b. Biasanya berlangsung sekitar 48-72 jam (sering mulai beberapa jam sebelum atau sesaat setelah haid (menstrual flow).
c. Nyeri perut (cramping) atau nyeri seperti saat melahirkan (laborlike pain).
d. Seringkali ditemukan pada pemeriksaan pelvis yang biasa atau unremarkable pelvic examination findings (termasuk rektum).
Menurut Laurel D Edmundson (2006) dismenorea primer memiliki ciri khas sebagai berikut:
a. Onset dalam 6-12 bulan setelah menarche (haid pertama).
b. Nyeri pelvis atau perut bawah (lower abdominal/pelvic pain) dimulai dengan onset haid dan berakhir selama 8-72 jam.
c. Low back pain.
d. Nyeri paha di medial atau anterior.
e. Headache (sakit kepala).
f. Diarrhea (diare).
g. Nausea (mual) atau vomiting (muntah).
Karakteristik dismenorea primer menurut Ali Badziad (2003), yaitu :
a. Sering ditemukan pada usia muda.
b. Nyeri sering timbul segera setelah mulai timbul haid teratur.
c. Nyeri sering terasa sebagai kejang uterus yang spastik dan sering disertai mual, muntah,
d. diare, kelelahan, dan nyeri kepala.
e. Nyeri haid timbul mendahului haid dan meningkat pada hari pertama atau kedua haid.
f. Jarang ditemukan kelainan genitalia pada pemeriksaan ginekologis.
g. Cepat memberikan respon terhadap pengobatan medikamentosa.
2. Dismenorea Sekunder
Nyeri dengan pola yang berbeda didapatkan pada dismenorea sekunder yang terbatas pada onset haid. Ini biasanya berhubungan dengan perut besar/kembung (abdominal bloating), pelvis terasa berat (pelvic heaviness), dan nyeri punggung (back pain). Secara khas, nyeri meningkat secara progresif selama fase luteal sampai memuncak sekitar onset haid.
Berikut ini merupakan manifestasi klinis dismenorea sekunder (Smith, 1993; Smith, 1997), yaitu :
a. Dismenorea terjadi selama siklus pertama atau kedua setelah menarche (haid pertama), yang merupakan indikasi adanya obstruksi outflow kongenital.
b. Dismenorea dimulai setelah berusia 25 tahun.
c. Terdapat ketidaknormalan (abnormality) pelvis dengan pemeriksaan fisik: pertimbangkan kemungkinan endometriosis, pelvic inflammatory disease, pelvic adhesion (perlengketan pelvis), dan adenomyosis.
d. Sedikit atau tidak ada respon terhadap NSAIDs, kontrasepsi oral,atau keduanya.
Menurut Laurel D Edmundson (2006) dismenorea sekunder memiliki ciri khas sebagai berikut:
a. Onset pada usia 20-an atau 30-an, setelah siklus haid yang relatif tidak nyeri di masa lalu.
b. Infertilitas.
c. Darah haid yang banyak (heavy menstrual flow) atau perdarahan yang tidak teratur.
d. Dyspareunia (sensasi nyeri saat berhubungan seks).
e. Vaginal discharge.
f. Nyeri perut bawah atau pelvis selama waktu selain haid
g. Nyeri yang tidak berkurang dengan terapi nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Karakteristik dismenorea sekunder menurut Ali Badziad (2003), yaitu :
a. Lebih sering ditemukan pada usia tua dan setelah dua tahun mengalami siklus haid teratur.
b. Nyeri dimulai saat haid dan meningkat bersamaan dengan keluarnya darah haid.
c. Sering ditemukan kelainan ginekologis.
d. Pengobatannya seringkali memerlukan tindakan operatif.
G. Pemerikasaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang penegakan diagosa bagi penderita Dismenorea atau mengatasi gejala yang timbul diantaranya : Pemeriksaan berikut ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik dismenorea:
1. Cervical culture untuk menyingkirkan sexually transmitted diseases.
2. Hitung leukosit untuk menyingkirkan infeksi.
3. Kadar human chorionic gonadotropin untuk menyingkirkan kehamilan ektopik.
4. Sedimentation rate.
5. Cancer antigen 125 (CA-125) assay: ini memiliki nilai klinis yang terbatas dalam mengevaluasi wanita dengan dismenorea karena nilai prediktif negatifnya yang relatif rendah.
6. Laparoscopy
7. Hysteroscopy
8. Dilatation
9. Curettage
10. Biopsi Endomentrium
H. Penatalaksanaan
Berdasarkan MIMS Indonesia (2008) penatalaksanaan untuk Dismenorea, sebagai berikut :
1. Keperawatan
a. Kompres bagian bawah abdomen dengan botol berisi air panas atau bantal pemanas khusus untuk meredakan nyeri
b. Minum banyak air, hindari konsumsi garam dan minuman yang berkafein untuk mencegah pembengkakan dan retensi air
c. Olahraga secara teratur bermanfaat untuk membantu mengurasi dismenore karena akan memicu keluarnya hormon endorfin yang dinilai sebagai pembunuh alamiah untuk rasa nyeri
d. Makan makanan yang bergizi, kaya akan zat besi, kalsium, dan vitamin B kompleks. Jangan mengurangi jadwal makan
e. Istirahat dan relaksasi dapat membantu meredakan nyeri
f. Lakukan aktivitas yang dapat meredakan stres, misalnya pijat,yoga, atau meditasi, untuk membantu meminimalkan rasa nyeri
g. Pada saat berbaring terlentang, tinggikan posisi pinggul melebihi posisi bahu untuk membantu meredakan gejala dismenore
2. Medis
a. Pemberian Analgesik (non opiat) ringan dan sederhana atau kombinasi analgesik dan AINS
b. Pemberian Analgesik Antiinflamasi Non Steroid (AINS)
c. Pemberian Antipasmodik
d. Pemberian Estrogen dan Progesteron
e. Pemberian Suplemen
Daftar Pustaka
http://www.kabarindonesia.com/berita diaksek pada tanggal 19 Juni 2008
Djuanda, Adhi,dkk (2008), MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 7, Jakarta Selatan : PT. Info Master
A. Pengertian
Dismenore (nyeri haid) merupakan gejala yang timbul menjelang dan selama mentruasi ditandai dengan gejala kram pada abdomen bagian bawah. (Djuanda, Adhi.dkk, 2008)
Nyeri haid yang merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Istilah dismenorea biasa dipakai untuk nyeri haid yang cukup berat dimana penderita mengobati sendiri dengan analgesik atau sampai memeriksakan diri ke dokter.
B. Etiologi
Secara umum, nyeri haid timbul akibat kontraksi disritmik miometrium yang menampilkan satu gejala atau lebih, mulai dari nyeri yang ringan sampai berat di perut bagian bawah, bokong, dan nyeri spasmodik di sisi medial paha.
Penyebab Dismenorea Primer
1. Faktor endokrin
Rendahnya kadar progesteron pada akhir fase korpus luteum. Menurut Novak dan Reynolds, hormon progesteron menghambat atau mencegah kontraktilitas uterus sedangkan hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus.
2. Kelainan organik
Seperti: retrofleksia uterus, hipoplasia uterus, obstruksi kanalis servikalis, mioma submukosum bertangkai, polip endometrium.
3. Faktor kejiwaan atau gangguan psikis
Seperti: rasa bersalah, ketakutan seksual, takut hamil, hilangnya tempat berteduh, konflik dengan kewanitaannya, dan imaturitas.
4. Faktor konstitusi
seperti: anemia, penyakit menahun, dsb dapat memengaruhi timbulnya dismenorea.
5. Faktor alergi
Menurut Smith, penyebab alergi adalah toksin haid. Menurut riset, ada asosiasi antara dismenorea dengan urtikaria, migren, dan asma bronkiale.
Penyebab Dismenorea Sekunder
1. Intrauterine contraceptive devices
2. Adenomyosis
3. Uterine myoma (fibroid), terutama mioma submukosum
4. Uterine polyps
5. Adhesions (pelekatan)
6. Congenital malformation of the müllerian system
7. Stenosis atau striktur serviks, striktur kanalis servikalis, varikosis pelvik, dan adanya AKDR
8. Kista ovarium (ovarian cysts)
9. Pelvic congestion syndrome
10. Allen-Masters syndrome
11. Mittelschmerz (midcycle ovulation pain atau nyeri saat pertengahan siklus ovulasi)
12. Psychogenic pain (nyeri psikogenik)
13. Endometriosis pelvis
14. Penyakit radang panggul kronis
15. Tumor ovarium, polip endometrium
16. Kelainan letak uterus seperti: retrofleksi, hiperantefleksi, retrofleksi terfiksasi
17. Faktor psikis, seperti: takut tidak punya anak, konflik dengan pasangan, gangguan libido.
Menurut Harlow (1996), juga terdapat faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya dismenorea yang berat (severe episodes of dysmenorrhea) :
1. Menstruasi pertama pada usia amat dini (earlier age at menarche)
2. Periode menstruasi yang lama (long menstrual periods)
3. Aliran menstruasi yang hebat (heavy menstrual flow)
4. Merokok (smoking)
5. Riwayat keluarga yang positif (positive family history)
Laurel D Edmundson (2006) telah mencatat sedikitnya terdapat 15 faktor risiko pada dismenorea primer dan sekunder, dengan rincian sebagai berikut:
1. Faktor Risiko Dismenorea Primer:
a. Usia saat menstruasi pertama <12 tahun
b. Nulliparity (belum pernah melahirkan anak)
c. Haid memanjang (heavy or prolonged menstrual flow)
d. Merokok
e. Riwayat keluarga positif
f. Kegemukan
2. Faktor Risiko Dismenorea Sekunder:
a. Endometriosis
b. Adenomyosis
c. Leiomyomata (fibroid)
d. Intrauterine device (IUD)
e. Pelvic inflammatory disease
f. Kanker endometrium (endometrial carcinoma)
g. Kista ovarium (ovarian cysts)
h. Congenital pelvic malformations
i. Cervical stenosis
C. Klasifikasi
Secara klinis Dismenorea dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam yaitu
1. Dismenorea Primer (esensial, intrinsik, idiopatik)
Dismenorea primer (primary dysmenorrhea) didefinisikan sebagai nyeri haid (menstrual pain) yang tidak berhubungan dengan patologi pelvis makroskopis (yaitu: ketiadaan penyakit pada pelvis). Umumnya terjadi pada tahun-tahun pertama setelah menstruasi pertama atau menarche (Koltz, 1995) dan memengaruhi sampai 50% wanita postpubescent (Dawood, 1988).
2. Dismenorea Sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, acquired)
Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) didefinisikan sebagai nyeri haid sebagai akibat dari anatomi dan atau patologi pelvis makroskopis (Dawood, 1990; Koltz, 1995), seperti yang dialami oleh wanita dengan endometriosis atau radang pelvis kronis (chronic pelvic inflammatory disease). Kondisi ini paling sering dialami oleh wanita berusia 30-45 tahun.
D. Potofisiologi
1. Dismenorea Primer
Dismenorea primer (primary dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah menarche (haid pertama) segera setelah siklus ovulasi teratur (regular ovulatory cycle) ditetapkan/ditentukan. Selama menstruasi, sel-sel endometrium yang terkelupas (sloughing endometrial cells) melepaskan prostaglandin, yang menyebabkan iskemia uterus melalui kontraksi miometrium dan vasokonstriksi. Peningkatan kadar prostaglandin telah terbukti ditemukan pada cairan haid (menstrual fluid) pada wanita dengan dismenorea berat (severe dysmenorrhea). Kadar ini memang meningkat terutama selama dua hari pertama menstruasi. Vasopressin juga memiliki peran yang sama.
Riset terbaru menunjukkan bahwa patogenesis dismenorea primer adalah karena prostaglandin F2alpha (PGF2alpha), suatu stimulan miometrium yang kuat (a potent myometrial stimulant) dan vasoconstrictor, yang ada di endometrium sekretori (Willman, 1976). Respon terhadap inhibitor prostaglandin pada pasien dengan dismenorea mendukung pernyataan bahwa dismenorea diperantarai oleh prostaglandin (prostaglandin mediated). Banyak bukti kuat menghubungkan dismenorea dengan kontraksi uterus yang memanjang (prolonged uterine contractions) dan penurunan aliran darah ke miometrium.
Kadar prostaglandin yang meningkat ditemukan di cairan endometrium (endometrial fluid) wanita dengan dismenorea dan berhubungan baik dengan derajat nyeri (Helsa, 1992; Eden, 1998). Peningkatan endometrial prostaglandin sebanyak 3 kali lipat terjadi dari fase folikuler menuju fase luteal, dengan peningkatan lebih lanjut yang terjadi selama menstruasi (Speroff, 1997; Dambro, 1998). Peningkatan prostaglandin di endometrium yang mengikuti penurunan progesterone pada akhir fase luteal menimbulkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan (Dawood, 1990).
Leukotriene juga telah diterima (postulated) untuk mempertinggi sensitivitas nyeri serabut (pain fibers) di uterus (Helsa, 1992). Jumlah leukotriene yang bermakna (significant) telah dipertunjukkan di endometrium wanita dengan dismenorea primer yang tidak berespon terhadap pengobatan dengan antagonis prostaglandin (Demers, 1984; Rees, 1987; Chegini, 1988; Sundell, 1990; Nigam, 1991).
Hormon pituitari posterior, vasopressin, terlibat pada hipersensitivitas miometrium, mereduksi (mengurangi) aliran darah uterus, dan nyeri (pain) pada penderita dismenorea primer (Akerlund, 1979). Peranan vasopressin di endometrium dapat berhubungan dengan sintesis dan pelepasan prostaglandin.
2. Dismenorea Sekunder
Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) dapat terjadi kapan saja setelah menarche (haid pertama), namun paling sering muncul di usia 20-an atau 30-an, setelah tahun-tahun normal, siklus tanpa nyeri (relatively painless cycles). Peningkatan prostaglandin dapat berperan pada dismenorea sekunder, namun, secara pengertian (by definition), penyakit pelvis yang menyertai (concomitant pelvic pathology) haruslah ada. Penyebab yang umum termasuk: endometriosis, leiomyomata (fibroid), adenomyosis, polip endometrium, chronic pelvic inflammatory disease, dan penggunaan peralatan kontrasepsi atau IUD (intrauterine device).
Karim Anton Calis (2006) mengemukakan sejumlah faktor yang terlibat dalam patogenesis dismenorea sekunder.
Kondisi patologis pelvis berikut ini dapat memicu atau mencetuskan dismenorea sekunder :
a. Endometriosis
b. Pelvic inflammatory disease
c. Tumor dan kista ovarium
d. Oklusi atau stenosis servikal
e. Adenomyosis
f. Fibroids
g. Uterine polyps
h. Intrauterine adhesions
i. Congenital malformations (misalnya: bicornate uterus, subseptate uterus)
j. Intrauterine contraceptive device
k. Transverse vaginal septum
l. Pelvic congestion syndrome
m. Allen-Masters syndrome
E. Komplikasi
1. Jika diagnosis dismenorea sekunder diabaikan atau terlupakan, maka patologi yang mendasari (underlying pathology) dapat memicu kenaikan morbidity (angka kematian), termasuk sterility (kemandulan).
2. Isolasi sosial dan/atau depresi.
F. Mekenisme Klinis
Mekanisme klinis untuk Dismenorea ini dibedakan berdasarkan klasifikasinya, sebagai berikut :
1. Dismenorea Primer
Dismenorea primer hampir selalu terjadi saat siklus ovulasi (ovulatory cycles) dan biasanya muncul dalam setahun setelah menarche (haid pertama). Pada dismenorea primer klasik, nyeri dimulai bersamaan dengan onset haid (atau hanya sesaat sebelum haid) dan bertahan/menetap selama 1-2 hari. Nyeri dideskripsikan sebagai spasmodik dan superimposed over a background of constant lower abdominal pain, yang menyebar ke bagian belakang (punggung) atau anterior dan/atau medial paha.
Berhubungan dengan gejala-gejala umum, seperti:
a. Malaise (rasa tidak enak badan),
b. Fatigue/lelah (85%),
c. Nausea (mual) dan vomiting/muntah (89%),
d. Diare (60%),
e. Nyeri punggung bawah atau lower backache (60%),
f. Sakit kepala atau headache (45%),
g. Terkadang dapat juga disertai vertigo atau sensasi jatuh (dizziness), perasaan
h. Cemas, gelisah (nervousness), dan bahkan collapse (ambruk).
Manifestasi klinis (clinical features) dismenorea primer termasuk:
a. Onset segera setelah menarche (haid pertama).
b. Biasanya berlangsung sekitar 48-72 jam (sering mulai beberapa jam sebelum atau sesaat setelah haid (menstrual flow).
c. Nyeri perut (cramping) atau nyeri seperti saat melahirkan (laborlike pain).
d. Seringkali ditemukan pada pemeriksaan pelvis yang biasa atau unremarkable pelvic examination findings (termasuk rektum).
Menurut Laurel D Edmundson (2006) dismenorea primer memiliki ciri khas sebagai berikut:
a. Onset dalam 6-12 bulan setelah menarche (haid pertama).
b. Nyeri pelvis atau perut bawah (lower abdominal/pelvic pain) dimulai dengan onset haid dan berakhir selama 8-72 jam.
c. Low back pain.
d. Nyeri paha di medial atau anterior.
e. Headache (sakit kepala).
f. Diarrhea (diare).
g. Nausea (mual) atau vomiting (muntah).
Karakteristik dismenorea primer menurut Ali Badziad (2003), yaitu :
a. Sering ditemukan pada usia muda.
b. Nyeri sering timbul segera setelah mulai timbul haid teratur.
c. Nyeri sering terasa sebagai kejang uterus yang spastik dan sering disertai mual, muntah,
d. diare, kelelahan, dan nyeri kepala.
e. Nyeri haid timbul mendahului haid dan meningkat pada hari pertama atau kedua haid.
f. Jarang ditemukan kelainan genitalia pada pemeriksaan ginekologis.
g. Cepat memberikan respon terhadap pengobatan medikamentosa.
2. Dismenorea Sekunder
Nyeri dengan pola yang berbeda didapatkan pada dismenorea sekunder yang terbatas pada onset haid. Ini biasanya berhubungan dengan perut besar/kembung (abdominal bloating), pelvis terasa berat (pelvic heaviness), dan nyeri punggung (back pain). Secara khas, nyeri meningkat secara progresif selama fase luteal sampai memuncak sekitar onset haid.
Berikut ini merupakan manifestasi klinis dismenorea sekunder (Smith, 1993; Smith, 1997), yaitu :
a. Dismenorea terjadi selama siklus pertama atau kedua setelah menarche (haid pertama), yang merupakan indikasi adanya obstruksi outflow kongenital.
b. Dismenorea dimulai setelah berusia 25 tahun.
c. Terdapat ketidaknormalan (abnormality) pelvis dengan pemeriksaan fisik: pertimbangkan kemungkinan endometriosis, pelvic inflammatory disease, pelvic adhesion (perlengketan pelvis), dan adenomyosis.
d. Sedikit atau tidak ada respon terhadap NSAIDs, kontrasepsi oral,atau keduanya.
Menurut Laurel D Edmundson (2006) dismenorea sekunder memiliki ciri khas sebagai berikut:
a. Onset pada usia 20-an atau 30-an, setelah siklus haid yang relatif tidak nyeri di masa lalu.
b. Infertilitas.
c. Darah haid yang banyak (heavy menstrual flow) atau perdarahan yang tidak teratur.
d. Dyspareunia (sensasi nyeri saat berhubungan seks).
e. Vaginal discharge.
f. Nyeri perut bawah atau pelvis selama waktu selain haid
g. Nyeri yang tidak berkurang dengan terapi nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Karakteristik dismenorea sekunder menurut Ali Badziad (2003), yaitu :
a. Lebih sering ditemukan pada usia tua dan setelah dua tahun mengalami siklus haid teratur.
b. Nyeri dimulai saat haid dan meningkat bersamaan dengan keluarnya darah haid.
c. Sering ditemukan kelainan ginekologis.
d. Pengobatannya seringkali memerlukan tindakan operatif.
G. Pemerikasaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang penegakan diagosa bagi penderita Dismenorea atau mengatasi gejala yang timbul diantaranya : Pemeriksaan berikut ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik dismenorea:
1. Cervical culture untuk menyingkirkan sexually transmitted diseases.
2. Hitung leukosit untuk menyingkirkan infeksi.
3. Kadar human chorionic gonadotropin untuk menyingkirkan kehamilan ektopik.
4. Sedimentation rate.
5. Cancer antigen 125 (CA-125) assay: ini memiliki nilai klinis yang terbatas dalam mengevaluasi wanita dengan dismenorea karena nilai prediktif negatifnya yang relatif rendah.
6. Laparoscopy
7. Hysteroscopy
8. Dilatation
9. Curettage
10. Biopsi Endomentrium
H. Penatalaksanaan
Berdasarkan MIMS Indonesia (2008) penatalaksanaan untuk Dismenorea, sebagai berikut :
1. Keperawatan
a. Kompres bagian bawah abdomen dengan botol berisi air panas atau bantal pemanas khusus untuk meredakan nyeri
b. Minum banyak air, hindari konsumsi garam dan minuman yang berkafein untuk mencegah pembengkakan dan retensi air
c. Olahraga secara teratur bermanfaat untuk membantu mengurasi dismenore karena akan memicu keluarnya hormon endorfin yang dinilai sebagai pembunuh alamiah untuk rasa nyeri
d. Makan makanan yang bergizi, kaya akan zat besi, kalsium, dan vitamin B kompleks. Jangan mengurangi jadwal makan
e. Istirahat dan relaksasi dapat membantu meredakan nyeri
f. Lakukan aktivitas yang dapat meredakan stres, misalnya pijat,yoga, atau meditasi, untuk membantu meminimalkan rasa nyeri
g. Pada saat berbaring terlentang, tinggikan posisi pinggul melebihi posisi bahu untuk membantu meredakan gejala dismenore
2. Medis
a. Pemberian Analgesik (non opiat) ringan dan sederhana atau kombinasi analgesik dan AINS
b. Pemberian Analgesik Antiinflamasi Non Steroid (AINS)
c. Pemberian Antipasmodik
d. Pemberian Estrogen dan Progesteron
e. Pemberian Suplemen
Daftar Pustaka
http://www.kabarindonesia.com/berita diaksek pada tanggal 19 Juni 2008
Djuanda, Adhi,dkk (2008), MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 7, Jakarta Selatan : PT. Info Master
Label:
Kesehatan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Mohon jangan meninggalkan SPAM dan link-link yang negatif!!
Untuk Artikel yang berumur lebih dari 20 hari akan dimoderasi oleh Admin.